Rabu, 24 September 2008

INOVASI PERTANIAN BERBASIS KULTUR LOKAL

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagian besar hidupnya bergantung pada kegiatan bercocok tanam. Mereka mempertaruhkan hidupnya melalui pengelolaan lahan kering yang pada umumnya berlereng dan bergunung dengan rendah kesuburan tanah (miskin kandungan bahan organic) serta peka terhadap erosi. Ditambah kondisi iklim yang ekstrim kering yakni musim hujan berlangsung hanya 3-4 bulan disertai distribusi curahan yang tidak merata dan tidak tentu setiap tahunnya menyebabkan petani selalu dibayang-bayangi rasa takut akan gagal panen.
Masa-masa ketiadaan pangan bukan kejadian luar biasa yang dialami masyarakat (petani) di NTT karena berulang terjadi dari tahun ketahun menjelang musim tanam. Saat itu jenis biji-bijian dan umbi-umbian yang berasal dari hutan punya kontribusi besar sebagai sumber pangan bagi masyarakat yang memiliki akses ke hutan. Beruntung bahwa sebagian besar petani di NTT bermukim di sekitar kawasan hutan sehingga mendapat kompensasi pangan yang cukup dari hutan ketika hasil panen mereka tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga.
Dari gambaran di atas menunjukkan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan sebagai sumber mendapatkan bahan pangan; juga masyarakat (petani) yang tinggal di daerah dataran yang sepanjang musim mengerjakan sawah dan memelihara ternak karena mendapat limpahan bahan organic dan kecukupan air untuk kesuburan tanah dan pengairan serta minuman bagi ternak peliharaan; begitupun masyarakat perkotaan mendapat kecukupan air bersih karena hutan memiliki peran sebagai penyangga bagi berjalannya siklus air di alam raya ini.
Hutan selain sebagai sumber mendapatkan bahan pangan, juga oleh komunitas local di sekitar kawasan hutan mamandang hutan memiliki nilai sakral yang harus dilindungi dari ancaman pengrusakan oleh manusia karena keberadaannya tidak dapat terpisahkan dari kelangsungan hidup mereka. Pada komunitas tersebut, pembukaan hutan baru dapat dilakukan ketika mereka berada dalam kondisi terdesak dan terhimpit karena kesulitan mempertahankan hidup. Sebaliknya hutan di sekitar mata air dan diyakini masyarakat local sebagai sumber yang menghasilkan mata-mata air tabu untuk dibuka dengan alasan apapun. Seperti hutan yang diartikan oleh komunitas local di kawasan Leragere (Lebatukan-Lembata) sebagai duang atau di kawasan kepala burung (Alor) disebut fahain tidak diperkenankan untuk dibuka karena diyakini akan mendatangkan bencana.
Alam NTT yang keras, tidak bersahabat dan sewaktu-waktu mendatangkan bencana seperti gempa, kekeringan, banjir dan longsor tidak menyurutkan motivasi masyarakat (petani) dalam bekerja apalagi pasrah, tetapi justru kondisi tersebut menantang mereka untuk berpikir dan bertindak lebih arif mengelola sumberdaya alam. Kalau diinventarisir akan ada daftar panjang menyangkut kearifan masyarakat local yang berhubungan dengan prilaku hidup supaya bertahan menghadapi kondisi alam yang keras dan tidak bersahabat, maupun mengelola sumberdaya alam di sekitarnya supaya berkelanjutan. Kearifan-kearifan itu diperoleh tidak melalui proses pendidikan formal sebagai layaknya ahli-ahli ilmu pertanian yang mendapat gelar insinyur dari perguruan tinggi, tetapi melalui proses internalisasi yang melibatkan fikiran dan tindakan praktis mereka menghadapi “kemauan” alam yang pada akhirnya lahir pengalaman-pengalaman yang matang dan teruji sebagai nilai-nilai kearifan yang berujud sebagai kultur local.
Mengambil contoh diversifikasi tanaman yang gencar diintrodusir oleh Departemen Pertanian di Republik ini bukan hal baru karena meminjam dari kultur bertani petani-petani kampungan yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal tetapi belajar dari pengalaman bertani secara turun-temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya sebagai cara mengantisipasi apabila salah satu komoditas tanaman pangan mengalami gagal panen akibat kondisi alam yang tidak bersahabat maka masih ada hasil panen dari komoditas lainnya untuk disubstitusi. Penerapan pola tanam dimaksud termasuk di dalamnya kearifan memilih jenis komoditas dan varietas tanaman pangan berumur pendek dan berdaya adaptasi tinggi terhadap kondisi lahan kering serta tidak saling berkompotisi dalam merebut unsure hara dan sinar matahari. Kultur seperti di atas terbawa juga dalam pola makanan sehingga punya nilai positif bagi upaya memasyarakatkan prinsip gizi seimbang di kalangan masyarakat.
Penerapan system bera atau mengisterahatkan lahan kering dalam jangka waktu 10-15 tahun supaya kesuburan tanah kembali normal merupakan salah satu kultur dalam memelihara keberlanjutan produktivitas lahan kering. Sistem tersebut dilakukan oleh sebagian besar komunitas masyarakat lahan kering di NTT agar sepanjang masa pengisterahatan lahan terjadi suksesi vegetasi hutan secara alami. Selain itu di beberapa daerah ditemui sebagian kecil komunitas masyarakat memasukan jenis tanaman legum pada hamparan lahan yang diisterahatkan sebelum dibuka kembali. Cara yang disebutkan terakhir ini pernah mengangkat kabupaten Kupang sebagai gudang ternak sapi berkwalitas ekspor sebelum tanaman lamtoro musnah akibat hama kutu loncat.
Pada daerah-daerah di sekitar sumber mata air, zona tangkapan air dan daerah aliran sungai (DAS) masih banyak kita jumpai mamar yang merupakan model artificial dari hutan alami yang dibentuk oleh masyarakat local tanpa dilandasi teori hidrologi tetapi berdasarkan kearifan mereka memahami alam yang menjadi habitat mereka sendiri. Fikiran sederhana mereka bahwa dengan menerapkan system di atas maka hutan alami yang memiliki nilai sacral tidak diganggu. Dengan demikian mamar menjadi alternatif yang memberi sumbangan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (mendapatkan makanan, obat-obatan, kayu bangunan, kayu bakar dll.). Sedangkan hutan sebagai habitat mereka tetap terjaga dan terpelihara keberlanjutannya.

Introduksi Kultur Modern Kedalam Kultur Lokal

Kebijakan pembangunan di masa rezim orde baru lebih bersifat ekonomisentris yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai social budaya yang melekat kuat dalam komunitas masyarakat agraris. Negara memiliki akses dan kontrol yang tak terbatas terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Sebaliknya masyarakat (petani) sebatas pengguna dan pemanfaat sumberdaya alam tanpa memiliki posisi setara dalam pengambilan keputusan-keputusan publik menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai akibat kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan negara dan jauh dari harapan mensejahterakan masyarakat sebagaimana tertuang dalam kontrak social negara yakni UUD 1945. Dampak pembangunan yang dirasakan nyata oleh masyarakat agraris berupa lahirnya kelas-kelas social baru.
Pembangunan pertanian melalui introduksi teknologi pertanian modern dan padat modal telah menggeser posisi petani yang semula sebagai pemilik lahan kepada segelintir “orang” yang memiliki teknologi dan modal. Petani yang kemampuan ekonominya rendah dipaksakan untuk menerima paket teknologi pertanian modern dengan harus berhutang. Banyak petani pada akhirnya tidak mampu mengembalikan hutang kepada negara dan merelakan harta satu-satunya yakni lahan untuk menyambung hidup mereka kepada kaum bermodal.
Bersamaan dengan masuknya teknologi pertanian modern yang berorientasi pasar telah menggeser pula kultur bertani local yang selalu memegang prinsip keseimbangan ekologis. Pola usahatani yang bercorak penganekaragaman tanaman dalam dimensi ruang dan waktu yang sama pada system bertani tradisional diganti dengan system monokultur karena lebih menjawab kebutuhan pasar. Penggunaan sisa-sisa tanaman dan kotoran hewan sebagai pupuk alam diganti dengan pupuk kimiawi karena lebih efektif. Kearifan masyarakat dalam mengelola hama/penyakit tanaman melalui penggunaan cara-cara alami ditinggalkan dan beralih pada penggunaan bahan kimia (beracun).
Pendekatan pembangunan pertanian yang mengandalkan teknologi modern seperti dikemukakan di atas bukan saja menmbulkan degradasi ekologi, tetapi juga menciptakan alienasi masyarakat local yang semula memahami konsep ekosistem sebagai bentuk interelasi manusia dengan alam sebagai satu kesatuan sosio-ekologis. Sebab dalam konsep pertanian modern manusia berada dalam di luar ekosistem dan komponen penyusun ekosistem dilihat sebagai unit ekonomi yang dapat direkayasa untuk memenuhi kepentinganmanusia. Tanah dilihat sebagai factor produksi yang dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui input teknologi mekanik dan pemupukan kimiawi supaya mampu berproduksi berlipat ganda. Unsur-unsur cuaca seperti temperatur, kelembaban, cahaya, udara direkayasa sedemikian rupa untuk tercipta iklim mikro yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi komoditas tanaman bernilai ekonomi tinggi.
Dampak pembangunan pertanian bagi masyarakat lahan kering seperti gencarnya introduksi varietas padi dan palawija yang nota bene “unggul” serta pendekatan pemaksaan kepada petani local untuk mengadopsi varietas unggul telah berangsur-angsur mengurangi bahkan meniadakan penggunaan varietas local yang telah lama teruji daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan NTT. Akibatnya varietas-varietas padi dan palawija yang unggul secara local mulai hilang dari lumbung-lumbung benih komunitas petani local. Selain itu penggunaan varietas padi dan palawija yang diintrodusir mengharuskan petani menggunakan input teknologi luar sehingga memerlukan biaya tambahan yang mahal serta menciptakan ketergantungan petani terhadap sumberdaya dari luar. Padahal pola usahatani tanaman pangan yang turun-temurun dilakukan petani melalui penggunaan varietas local maupun teknologi yang syarat nilai-nilai kearifan local membuktikan adanya rasa percaya diri atas kemampuan sendiri tanpa melibatkan sumberdaya dari luar komunitas petani.
Pembangunan kehutanan memberi dampak negatif yang serupa terhadap masyarakat local yang konsisten memandang bahwa mereka termasuk dalam komponen manajemen ekosistem hutan. Berbagai program kehutanan antara lain: hutan lindung, reboisasi, rehabilitasi dan konservasi lahan dan lain-lain mengabaikan pandangan tersebut. Sebagai akibat program-program kehutanan tidak mampu mensejahterakan masyarakat, karena masyarakat local di sekitar hutan tidak dilibatkan dalam satu kesatuan pengelolaan ekosistem hutan. Padahal belajar dari pengalaman masyarakat local memiliki berbagai nilai kearifan yang mestinya dipakai untuk pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan hutan.
Contoh actual kegagalan pembangunan kehutanan di wilayah Timor Barat yang mengandalkan komoditas pohon cendana sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) akhir-akhir ini tidak dapat diandalkan lagi karena populasinya makin berkurang akibat kesalahan pengelolaan hutan oleh negara yang memandang masyarakat local yang tinggal di sekitar hutan tidak dimasukan dalam satu kesatuan komponen pengelolaan ekosistem hutan. Padahal kalau masyarakat dimaksud diikutkan dalam pengelolaan ekosistem hutan cendana maka negara tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal untuk mengawasi hutan, karena dengan sendirinya pengawasan dapat dilakukan oleh masyarakat local yang tinggal di sekitar hutan.

Inovasi Lingkungan Berbasis Kultur Lokal Sebagai Solusi

Berangkat dari pengalaman buruk dari program pembangunan yang berorientasi pertumbuhan bukannya memberi kemakmuran kepada masyarakat, tetapi sebaliknya memiskinkan masyarakat banyak dan memperkaya segelintir orang, maka sudah semestinya paradigma pembangunan diarahkan pada azas keadilan dan pemerataan melalui pemberian kewenangan kepada daerah untuk menentukan masa depannya. Pemberian kewenangan kepada daerah bukan political will semata tetapi dituntut pula kesungguhan dari pemerintah pusat memberikan kewenangan yang menjadi haknya daerah sehingga ada keleluasaan yang bertanggungjawab dari daerah untuk menata dirinya.
Dengan keleluasaan yang diberikan kepada daerah maka sangat terbuka luas kesempatan dari semua pelaku pembangunan di daerah yang meliputi pemerintah daerah, unsure swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam suasana kemitraan dan saling mendukung. Artinya bahwa pemerintah daerah sebagai penggagas dan pengambil kebijakan publik di daerah tidak memihak pada kepentingan institusinya saja tetapi juga menyentuh kepentingan semua komponen di daerah.
Kebijakan pembangunan daerah yang menyentuh kepentingan masyarakat tidak seharusnya menempatkan masyarakat hanya sebatas pemanfaat hasil pembangunan, tetapi membuka kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki akses dan kontrol terhadap pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan yang demikian tidak berakibat masyarakat teralienasi dan tercampak dari akar-akar kulturnya tetapi menjadi berdaya di dalam kulturnya selama pembangunan berlangsung.
Masyarakat agraris di dataran jawa dan daerah-daerah belahan Barat Indonesia yang pernah menjadi pusat adopsi teknologi pertanian modern yang menyedot habis-habisan potensinya yang tersimpan pada lahan basah untuk mendukung program swasembada beras mungkin kesulitan untuk kembali kepada pola pertanian yang berbasis pada kultur local sebab sudah terjadi pengalihan kepemilikan tanah oleh kaum innovator teknologi modern yang tidak yakin akan keampuhan pola pertanian yang berbasis kultur local. Tetapi khusus daerah yang masih memegang kultur local dalam kegiatan pertanian seperti pada masyarakat di NTT tidak mengalami kesulitan. Mungkin juga kebertuntungan bagi daerah-daerah yang sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada lahan kering, sebab inovasi teknologi pertanian yang diintrodusir berbasis lahan basah tidak compatible untuk lahan kering.
Namun demikian kultur local petani lahan kering yang berorientasi subsisten apabila dihadapkan dengan tantangan kedepan seperti ketersediaan lahan yang makn sempit maupun produksi pertanian yang harus berorientasi pasar, maka pola-pola pertanian yang ada perlu mengalami perbaikan baik melalui pemasukan komoditas tanaman bernilai ekonomis maupun pengaturan komponen tanaman menurut ruang dan waktu mengikuti perkembangan pengetahuan dan nilai-nilai kearifan yang dipunyai masyarakat local.
Menjawab kebutuhan pengembangan pertanian lahan kering yang berorientasi pasar dengan tetap mempertimbangkan kultur local dan keseimbangan ekologis maka tawaran konsep wanatani yang sebenarnya merupakan perbaikan dari model-model pengelolaan pertanian yang telah lama dikembangkan oleh petani lahan kering perlu diintrodusir kepada petani. Model ini tidak mengalami kesulitan untuk diadopsi petani karena tidak bertentangan dengan kultur local petani lahan kering. Demikian juga komoditas tanaman yang dimasukan dalam komponen wanatani dikenal masyarakat dan memiliki daya adaptasi luas pada berbagai kondisi lahan kering.
Yayasan Alfa Omega dalam 5 tahun terakhir mensosialisasikan konsep wanatani kepada petani lahan kering di 5 kabupaten di provinsi NTT melalui pendidikan dan latihan maupun dalam program pendampingan. Salah satu pendekatan yang cukup efektif dalam mensosialisaikan konsep ini ialah melalui program dana bergulir ternak sapi yang mana mengharuskan setiap calon penerima ternak sapi menanam kurang lebih 2000 tanaman pakan (jenis tanaman leguminosae) dalam system wanatani. Pada beberapa desa dampingan telah menunjukan model yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat pedesaan lainnya.
Supaya model wanatani dapat tersosialisai dan diterapkan secara luas oleh petani lahan kering, maka bentuk-bentuk pendidikan dan latihan yang mengikutsertakan petani lahan kering seperti kunjungan antar petani maupun magang pada desa-desa yang telah mengembangkan model tersebut perlu digalakkan. Ditunjang dengan income generating activity yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat maka akan mempercepat adopsi model wanatani yang ditawarkan. Pendekatan seperti itu mestinya dipakai oleh setiap komponen implementator pembangunan pedesaan yang concern pada upaya pemberdayaan masyarakat local.

COMMUNITY BASED ON SUSTAINABLE AGRICULTURE

Kontribusi alam menopang dan memperbaiki kualitas hidup manusia tidak terhingga hitungannya, ketimbang sumbangan manusia menjaga kualitas alam dan lingkungan di sekitarnya. Alam menyediakan oksigen dan dihirup manusia melalui indera pernapasan. Kemudian di dalam tubuh oksigen dipakai untuk membakar makanan yang dikonsumsi menjadi energi (tenaga) yang dibutuhkan bagi berbagai aktivitas manusia. Alam juga menampung material yang tidak berguna lagi bagi manusia, kemudian mengolahnya menjadi bahan berguna bagi kehidupan makhluk-makhluk lain, seperti tumbuhan, hewan, serangga dan lainnya.
Alam berjasa besar bagi kehidupan di alam, akan tetapi keserakahan segelintir manusia mengeksploitasi tatanan ekosistem alam melalui ragam peruntukkannya telah berakibat degradasi lingkungan di mana-mana. Manusia di belahan bumi manapun mengeluh kelaparan akibat kemarau berkepanjangan, petani mengeluh tidak memanen akibat ledakan hama menyerang tanamannya, penduduk di perkotaan terporak-poranda akibat banjir bandang dan gelombang tsunami menghantam pemukiman mereka dan masih banyak bencana yang sedang dan akan manusia alami.

Hutan alami (natural forest) yang kaya dengan keanekaragaman hayati dibongkar dan diganti hutan monokultur, tanaman pangan monokultur, tanaman pakan monokultur. Hutan mangrove di daerah pesisir yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) gelombang pasang dan tempat pemijahan telur (nursery ground) sebagian besar ikan dan hewan lainnya di laut dibuka untuk perluasan pemukiman kota, pembangunan fasilitas umum di perkotaan dan lain-lain, telah mengganggu siklus kehidupan alam sehingga secara kumulatif berakibat pada kejadian-kejadian alam luar biasa saat kini.

Ketika penghuni bumi masih berjumlah sedikit dan hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengakses dengan mudah bahan pangan dari alam, campur tangan manusia terhadap hutan masih di bawah ambang toleransi. Keterlibatan manusia mengeksploitasi hutan mulai terjadi ketika penduduk bumi bertambah dan bahan pangan yang dahulu tersedia di hutan mulai menipis dan menunjukkan kelangkaan. Hutan mulai dibuka manusia menjadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Peradaban manusia mengalami pergeseran dari hidup berpindah dan mengumpulkan bahan pangan dari hutan menjadi membuka hutan dan mengusahakan tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk dikonsumsi. Manusia mulai belajar cara mendapatkan benih dan menumbuhkannya menjadi tanaman yang menghasilkan bahan pangan, memanen dan menyeleksi untuk dikonsumsi dan sumber benih pada musim tanam berikutnya.

Manusia menyadari bahwa lahan yang sama kalau digunakan beberapa kali musim tanam akan berangsur-angsur menurun kesuburan tanahnya sehingga mempengaruhi hasil panen. Agar lahan kembali pulih kesuburannya, manusia mengisterahatkan lahan (memberakan) supaya tumbuh hutan sebelum digunakan kembali. Praktek demikian hingga kini masih ditemukan dalam sistem pertanian konvensional, meskipun periode bera begitu singkat akibat makin sempitnya kepemilikan lahan. Singkatnya sistem bera tidak memungkinkan pemulihan kembali kesuburan tanah, tetapi justru menimbulkan lahan kritis dimana-mana, bahkan keberadaannya mendominasi lahan pertanian potensial (arable land).

Dinamika pertumbuhan penduduk serta kebutuhan pembangunan yang memungkinkan adanya konversi lahan telah membawa konsekwensi pada pengalihan fungsi hutan sebagai penyangga hidrologi dan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati. Perubahan itu tidak disikapi dengan paradigma pembangunan dan cara manusia menanggapi. Hutan dan sumber daya alam lain (tanah, air, batuan dsb) dilihat sebagai asset produktif yang perlu dikelola untuk perolehan pendapatan bagi pembelanjaan pembangunan, sedang keberlanjutannya dikesampingkan. Sementara itu pembentukan prilaku manusia (human attitude building) melalui penyadaran kristis menanggapi perubahan yang begitu cepat berlansung tidak imbang dengan kuatnya kepentingan elit penguasa terhadap hutan dan sumberdaya alam lain (natural resources).

Pendekatan pembangunan yang ekploitatif terhadap hutan dan sumberdaya alam lainnya mengabaikan pemberdayaan komunitas masyarakat (community empowering) di sekitar hutan yang hidup baik dari mengakses bahan pangan, obat-obatan dan kayu dari hutan maupun praktek bercocok-tanam di sekitar kawasan hutan. Pendekatan penghutanan kembali (re-forestry), pengembangan pekebunan produktif (estate crop), peningkatan ketahanan pangan (food security) melalui pola diversifikasi cenderung mengobyekkan masyarakat tanpa melalui proses partisipatif sehingga substansi pemberdayaan yang mestinya disentuh terabaikan.
Membangun kesadaran kritis (critical awareness) dan mengalihkan keahlian (transfer of skill) mengelola hutan dan sumberdaya alam lain kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan agar menjadi tanggap dan mampu mengelola tidak termasuk komponen proyek pembangunan oleh dinas-dinas sektoral terkait (kehutanan, perkebunan, pertanian dsb). Proyek pembangunan lebih menekankan pada kelayakan teknis lapang dan target capaian fisik menurut ukuran efisiensi dan efektivitas. Oleh sebab itu, sering menjadi pemandangan umum bahwa dengan berakhirnya suatu proyek pembangunan, masyarakat merasa tidak memiliki tanggung jawab (poor sense of belonging) memelihara kelangsungan proyek, bahkan mubazir dan menjadi hiasan yang menambah daftar panjang karya-karya monumental anak bangsa bagi negerinya.

Mandat social negara melalui pemerintah pusat, provinsi, kabupaten hingga pada institusi terkecil desa untuk menjalankan layanan public (public services) cenderung tidak berpihak pada rakyatnya yang sebagian besar tinggal di pedesaan dalam kondisi miskin (the poorest), bahkan dimarginalkan dalam mengakses layanan public maupun mendapatkan hak-hak setara dengan warga masyarakat lainnya. Kondisi demikian menempatkan masyarakat pedesaan menjadi tidak berdaya dan tersubordinasi untuk tumbuh dan berkembang setara dengan sesama warga masyarakat lainnya.

Negara perlu menjamin warganya untuk mendapatkan perlakuan setara tanpa membedakan dikotomi warga kelas satu—kelas dua, kota—desa, kaya—miskin dan apapun pelabelan yang justru menghambat partisipasi warga mendapatkan layanan public. Warga pedesaan sebagian besar hidup sebagai petani; mereka memiliki berbagai keterbatasan akibat dosa paradigma pembangunan masa lampau yang tidak memberi peluang kepada mereka untuk didengar aspirasinya. Mereka selalu dilupakan untuk terlibat dalam setiap perencanaan pembangunan karena terlanjur diberi label sebagai kelompok tidak berpendidikan, bodoh, malas dll sehingga lebih pantas dimobilisasi untuk suksesnya kegiatan pembangunan.

Mata hati kita tertutup oleh cara pandang yang menafikkan orang desa akibat pelabelan di atas, sehingga kita gengsi menggali dan mengadopsi kearifan-kearifan mereka (local wisdom) dalam penyelenggaraan pembangunan. Institusi-institusi negara cenderung memakai pendekatan kekuasaan dan represif dalam mengintrodusir ide-ide yang sesungguhnya di luar pengetahuan dan konteks kehidupan mereka. Gagasan-gagasan rasional, ilmiah, praktis dan modern dianggap menjadi dewa yang dapat menyelesaikan permasalahan pembangunan.

Ketika parameter kesejahteraan masyarakat Indonesia memakai ukuran tingkat konsumsi beras per kapita per tahun, maka secara nasional berpengaruh pada kebijakan pembangunan pertanian yang mana mengarahkan perhatian pemerintah dan sumberdaya lahan untuk swasembada beras. Kebijakan tersebut membawa konsekwensi pada besarnya perhatian pemerintah pada pengembangan pertanian lahan basah (wet land). Padahal secara demografis bagian terbesar penduduk Indonesia bermukim di daerah dataran tinggi (pegunungan) dan menggantungkan hidupnya dari mengelola lahan kering (rain-fed land).

Daerah-daerah berpotensi pengembangan lahan basah seperti Jawa dan Sumatera menjadi sentra pengembangan padi sawah beririgasi. Para petani lahan basah dilatih teknologi pertanian modern dan diberi dukungan alat mekanisasi dan sarana produksi pertanian lain (benih, pupuk dan pestisida) untuk melipat-gandakan produksi padi. Sayangnya bahwa banyak petani lahan basah karena tidak siap mengelola dukungan tersebut, akhirnya mengalami lilitan hutang yang tidak sanggup dikembalikan dan satu per satu lahan miliknya jatuh ke tangan pemodal.

Pada daerah-daerah dataran tinggi (up land) yang didominasi lahan kering perkembangan pertanian mengikuti pengetahuan-pengetahuan lokal tanpa diperkaya dengan inovasi-inovasi dari generasi penerusnya. Teknologi pertanian lahan kering lambat mengikuti perkembangan dan meninggalkan lahan kritis yang dari tahun ke tahun makin meluas. Sistem bera tidak relevan lagi pada kebutuhan saat kini yang syarat akan dimensi social, ekonomi, politik dan ekologis.

Kepemilikan lahan yang kian menyempit dan kritis memerlukan suatu pendekatan baru pengelolaan lahan kering tanpa mengalienasikan petani, bahkan mempekuat basis ekonomi petani, ramah lingkungan serta tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. Pendekatan baru dimaksud bukan didatangkan dari luar petani, tetapi mengadopsi kearifan-kearifan petani lahan kering untuk disempurnakan dan dintrodusir kembali kepada petani. Pendekatan baru pertanian itu--meskipun bukan hal baru bagi petani lahan kering--dintrodusir dalam bahasa populer dengan sebutan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan meminimalisir penggunaan input luar (external in-put) dan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya local di sekitar petani dalam kegiatan produksi.

Berbeda pada pendekatan revolusi pertanian mengintegrasikan input luar, seperti pupuk, pestisida dan alat mekanik melampaui daya dukung lahan untuk berproduksi. Selain mahal karena input tersebut diproduksi di luar kapasitas petani, juga tidak ramah lingkungan sehingga meskipun dalam jangka pendek produksi berlipat ganda, tetapi untuk jangka panjang memiliki andil dalam destrukturisasi sifat tanah dan tatanan ekosistem pertanian. Pada sentra-sentra pertanian yang menggunakan pendekatan ini, dijumpai kasus-kasus seperti meningkatnya kadar kemasaman tanah, resistensi hama dan ledakan hama yang secara langsung berpengruh pada penurunan produksi.

Pertanian berkelanjutan dibangun di atas landasan perencanaan kebun yang melibatkan aspek dasar ekonomi keluarga tani (basic economy of household), kecenderungan kebutuhan pasar kedepan (market trend) dan manfaat ekologis (ecological benefit) serta perlindungan dan konservasi lahan (land protection and conservation). Pendekatan baru pertanian mensyarakatkan integrasi berbagai sektor seperti pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan, perindustrian dan perdagangan serta koperasi. Hanya saja pendekatan baru ini tidak mudah secara operasional pada level birokrasi karena terkait dengan kepentingannya sektoral masing-masing.

Hambatan pada aras birokrasi tidak berarti pendekatan baru pertanian secara operasional tidak dapat diimplementasikan pada level petani. Diakui pada level birokasi, pertanian berkelanjutan masih merupakan wacana yang diseminarkan dari waktu ke waktu, tetapi tanpa keputusan strategis yang memungkinkan penyederhanaan birokrasi agar responsif terhadap pendekatan tersebut. Berbeda pada beberapa lembaga non pemerintah (ornop), menanggapi gagasan baru melalui pengerahan sumberdaya yang mereka miliki untuk terlibat bersama masyarakat (petani) dan menerjemahkan wacana baru tersebut kedalam bentuk aplikatif, meski dalam implementasi berbenturan dengan program-program sektoral pemerintah.

Inisiatif lembaga-lembaga non pemerintah mengintrodusir pendekatan pertanian berkelanjutan di beberapa area program melalui perencanaan kebun petani secara partisipatif telah memberi warna baru pengelolaan pertanian lahan kering. Pendekatan baru tersebut telah menjadi model pertanian berkelanjutan skala kecil, sekaligus media belajar efektif petani untuk direplikasi dalam skala lebih luas agar berdampak ekonomis dan ekologis bagi masyarakat dalam satu kawasan ekosistem. Model-model pertanian berkelanjutan pada region Nusa Tenggara, ditemui di Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor, khusus pada wilayah-wilayah yang menjadi focus pendampingan Ornop.

Aspek penting lain yang luput dari perhatian kita pada petani yakni bagaimana komoditi pertanian dipasarkan melalui jaringan perdagangan yang adil (fair trading). Petani bertahun-tahun diperkenalkan beragam jenis tanaman dan teknis budidaya agar meningkat produksinya, tetapi mereka tidak dilatih untuk mengenal secara baik pasar komoditi mereka. Terkesan petani dilepas untuk mencari dan menemukan jalannya sendiri dalam memasarkan komoditi pertanian, tanpa keterlibatan kita membangun institusi petani agar kuat posisi tawar dalam mengakses pasar yang pelakunya adalah para pedagang bermodal.

Berdasarkan kelemahan tersebut di atas, maka institusi pasar pada level petani (farmer’s market institution) perlu dibangun dan diperkuat agar mampu berperan dalam mengakses pasar komoditi pertanian. Kepercayaan petani perlu dibangun (trust building) dan organisasinya diberi peran melakukan identifikasi pasar (market identify) serta membangun kesepakatan dengan pedagang. Petani juga perlu dilatih menyeleksi komoditi sesuai standar kualitas (grading) yang dibutuhkan pasar dan memasarkan komoditinya lewat wadah bersama (collective marketing) yang dibentuk di tingkat desa agar penjualan tidak secara individu.

Teknologi-teknologi pengolahan tepat guna (appropriate technology) produk pertanian perlu diperkenalkan kepada keluarga-keluarga tani, dengan maksud agar tumbuh industri-industri pengolahan produk pertanian berskala rumah tangga di pedesaan. Demikian pula institusi ekonomi beranggotakan petani dibentuk dan berfungsi dalam mengakses modal dari anggota maupun lembaga-lembaga keuangan agar tersedia bagi unit-unit bisnis yang tumbuh dan berkembang di pedesaan.

Melalui pendekataan pemberdayaan dan sistem yang terpola, maka tanpa pendampingan dari siapapun pertanian berkelanjutan meskipun masih menjadi gagasan oleh institusi birokrat, justru teraplikasi dan berkembang di tingkat petani melalui proses pembelajaran oleh petani ke petani. Semoga!!!

FOOD INSECURITY?

Tulisan ini sengaja penulis angkat dengan satu alasan bahwa ada kecenderungan kita menyalahkan alam yang tidak bersahabat, seperti banjir, longsor, hama-penyakit, kekeringan berkepanjangan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Akibat ketidakramahan alam itu, sepanjang tahun tidak saja petani yang mengeluh gagal panen, tetapi manusia di muka bumi yang kehidupannya sangat bergantung dari produksi pertanian merasa keamanan pangan mereka terancam.
Mengambil contoh kasus di Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam bulan Maret 2005 hampir setiap hari berita menyangkut gejala rawan pangan dengan indikasi puso pada tanaman pangan utama penduduk berupa padi, jagung dan jenis kacang-kacangan diliput media publik. Berita-berita tersebut menghiasi headline media cetak local maupun nasional dan dikonsumsi publik termasuk para public server yang merencanakan strategi penanganan. Ironis bahwa dari kesepuluh kabupaten itu, Alor yang konon berhasil dengan program Gerbadestan termasuk dalam daftar kabupaten yang mengalami rawan pangan.
Menjadi keanehan penulis adalah mengapa sebab dari kerawanan pangan selalu dialamatkan pada kekeringan? Bukankah sebaliknya, yakni akibat dari ketidakramahan kita mengelola alam? Alam NTT memang beriklim kering—sejak manusia NTT menjadi penghuni bumi mengakui bahwa alam di tempat dia dilahirkan dan menjadi dewasa—periode kering memang lebih lama dari periode basah. Kekeringan adalah fakta—merupakan constrain karena di luar kontrol manusia—karena itu tidak patut dijadikan satu-satunya alasan pembenaran.

Kita, termasuk pula para public server selaku aparatus negara yang memiliki kontrak social dengan rakyatnya, tidak terkecuali pemerintah kabupaten Alor dengan rakyatnya yang sebagian besar adalah petani perlu melihat secara jernih bahwa faktor-faktor di luar kendala alam dan berada dalam kontrol manusia memiliki andil secara signifikan terhadap gejala kerawanan pangan. Bukankah faktor-faktor tersebut perlu diidentifikasi dan dianalisis untuk merumuskan strategi pendekatan?
Kabupaten Alor memiliki lahan kering yang tidak kalah potensinya dengan kabupaten lainnya di daratan Flores bagian Barat, Sumbawa dan Lombok dalam pengamatan penulis. Kendala alam memang memiliki kemiripan, diantaranya adalah periode kering lebih panjang, tipis kandungan bahan organic tanah akibat dari menipisnya populasi vegetasi serta berlereng hingga bergunung sehingga rawan terhadap erosi. Kendala-kendala tersebut hanya dapat dikelola melalui perbaikan iklim mikro lahan (pola pengaturan pertanaman), perbaikan struktur tanah dan pengayaan bahan organic tanah (integrasi tanaman multiguna) dan konservasi tanah dan air (terasering menurut garis kontur lahan).
Tindakan-tindakan bertujuan mengelola kendala alam tersebut niscaya dapat dilakukan melalui perencanaan integrative yang melibatkan berbagai stakeholder. Bukan karena kepentingan sector pertanian lebih dominan, lalu mengabaikan peran program sector lain termasuk kepentingan private sector dan LSM/Ornop. Dalam konteks dan vissi menyelamatkan bumi dan kelangsungan hidup manusia dan penghuni lainnya, diperlukan kerendahan hati dan komitmen bersama agar keluar dari ego-sektoral masing-masing untuk mengambil dan menempatkan tindakan-tindakan tersebut sebagai missi bersama.
Kebijakan publik di bidang pertanian sangat miskin perhatiannya (poorest attention) pada pengembangan pertanian lahan kering. Kebijakan publik lebih besar perhatiannya pada pengembangan lahan basah, maka tidak heran aturan-aturan yang menjadi turunan dari kebijakan nasional untuk diberlakukan di kabupaten-kabupaten dengan sistem pertanian yang didominasi lahan kering menjadi tidak compatible. Hal tersebut terlihat dari teknologi/gagasan yang dintroduksi untuk diadopsi petani lahan kering, termasuk petani di kabupaten Alor merupakan pengalaman dari para petani lahan basah.

Penulis dalam sebuah Lokakarya yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTT di Kupang—kebetulan saja mewakili lembaga tempat penulis bekerja—pada salah satu session dengan narasumber seorang pejabat pada lingkup BPTP (Balai Penelitian Teknologi Pertanian) Kupang—menyajikan materi bahasan menyangkut pengalaman BPTP mengintroduksi teknologi pertanian sesuai spesifik lokasi lahan kering. Pada session tanya-jawab, penulis berkesempatan untuk meminta pejabat yang bersangkutan menunjukkan best practices dari pengalaman mereka mengintroduksi teknologi tersebut. Tanggapannya amat mengecewakan penulis ketika itu—kata pejabat tersebut bahwa: “Petanilah yang melakukan karenanya pengalaman itu ada pada mereka—sementara kami belum mendokumentasi pengalaman itu”—tanggapan itu sangat retoris dan tidak menunjukkan kesungguhan menjalankan mandat dan mempertanggung-jawabkannya kepada publik.
Pendekatan pembangunan pertanian oleh dinas sektoral nampak project-minded dan mengabaikan fungsi empowering baik melalui pendekatan edukasi dan penyadaran kepada petani yang pada umumnya kurang berpendidikan dan berkemampuan terbatas dalam mengakses informasi dari penyedia informasi dan teknologi relevan. Tidak mengherankan pada masyarakat di daerah-daerah, termasuk di kabupaten Alor yang belum tersentuh oleh pendekatan pembangunan yang bermuatan empowering, perilaku masyarakatnya tidak dinamis—sebagai petani mereka tetap mempertahankan pola shifting farm sebagai yang terbaik padahal sudah tidak relevan, tidak berani mengambil resiko terhadap alternatif lain, miskin inovasi dan merasa puas dengan hasil yang dicapai.
Nampak sekali proses pembodohan lebih gencar diinfiltrasikan kepada masyarakat pedesaan untuk tujuan politik penguasa ketimbang proses pencerahan sebagai hak bagi semua komponen anak bangsa. Mengambil contoh, kampanye-kampanye politik para kontestan Pemilu dan/atau pasangan Cabup—Cawabup dalam paparan visi dan misi programnya mengumbar janji-janji politik yang dikemas dalam isu menarik untuk medapat dukungan politik maupun suara mayoritas dari konstituen. Sayangnya, setelah tujuan politiknya tercapai—janji yang gaungnya memekakkan telinga mayoritas rakyat pendukung, menjadi berubah ibarat sebuah bola liar yang menggelinding tanpa arah dan tujuannya. Program kerja lima tahun—sepuluh tahun terlanjur menjadi angan-angan rakyat yang menantikan adanya perubahan kehidupan lebih baik.

Pendekatan empowering melalui sektor-sektor program terkait perlu diarahkan pada perbaikan manajemen pangan di tingkat masyarakat. Masyarakat pedesaan di Alor memiliki kohesi social relatif tinggi, terlihat ketika diantara anggota komunitas tersebut mengalami kesukaran hidup atau melakukan hajatan maka anggota komunitas lainnya turut menanggung kesukaran yang dihadapi atau ikut mengambil bagian dalam hajatan itu. Kebiasan-kebiasan itu telah mengakar dalam budaya komunitas pedesaan, hanya saja belum dilembagakan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan strategis—termasuk manajemen penyimpanan dan pendistribusian pangan di tingkat komunitas. Dahulu kita mengenalnya dengan sebutan “lumbung petani” yang dilembagakan atas inisiatif komunitas local agar memudahkan anggotanya mengakses, tetapi institusi tersebut tereliminasi oleh kuatnya institusi baru yang diintrodusir penguasa yang mengharuskan penyeragaman.
Petani secara individu kurang dikenalkan cara-cara menangani komoditas pangan setelah panen (pasca panen) dan mengolah komoditas tersebut menjadi produk baru yang layak dikonsumsi dan tahan lama (awet). Padahal di kalangan masyarakat pedesaan kita menemukan banyak ragam komoditas pangan non beras yang memiliki kandungan gizi hampir setara bahkan lebih dari beras yang oleh pemerintah dipakai sebagai standar komoditas pangan tingkat nasional. Penanganan pasca panen dan pengolahan komoditas pangan menjadi produk baru sesuai standar kesehatan, mungkin membuka peluang bagi tumbuhnya industri-industri pengolahan makanan berskala rumah tangga sebagai salah satu sumber pendapatan alternatif di kalangan komunitas local. Penulis yakin kalau hal tersebut terpola sebagai kegiatan ekonomi di kalangan komunitas pedesaan, maka akan mendorong petani untuk menggiatkan kegiatan produksi selain mencukupi kebutuhan pangan petani, tetapi juga memenuhi permintaan pasar industri pengolahan makanan.
Keluarga petani perlu juga dikenalkan cara mengelola pendapatan rumah tangga mereka, berapapun jumlahnya. Sesensitif apapaun, perlu dibangun diskusi yang melibatkan anggota keluarga menyangkut pemanfaatan pendapatan—berapa untuk kebutuhan konsumtif, berapa untuk tujuan social dan berapa untuk saving dan investasi—dengan maksud “membongkar” stereotype watak miskin yang diyakini kuat oleh komunitas pedesaan sebagai kodrat—agar keluar dari keyakinan itu dan mengambil langkah-langkah perubahan yang mengarah pada perbaikan pendapatan rumah tangga melalui kegiatan produksi on farm maupun off farm.
Dari keseluruhan gagasan penulis di atas tentunya kembali kepada komitmen dan kerendahan hati kita melihat dan merasakan yang dialami masyarakat. Atas dasar kedua hal itu, pasti ada kesediaan dari kita untuk bertindak sesuai peran dan kapasitas masing-masing dalam mengantar masyarakat keluar dari ketidakberdayaan mereka menyambut masa depan dan kehidupan lebih baik dan bermartabat. Sebab bangsa yang bermartabat tercermin lewat kehidupan rakyatnya yang sejahtera—bukan menjual ternaga kerja rakyatnya kepada bangsa asing—demi kemewahan hidup elit penguasanya. Semoga!!!

Menggerakkan Pertanian Rakyat

Sosok petani Indonesia sering diidentikkan sebagai kelompok masyarakat miskin. Mengapa demikian? Penduduk Indonesia sebagian besar bermukim di pedesaan dan bermatapencaharian sebagai petani subsisten. Mereka sangat bergantung pada kemurahan alam berupa lahan dan air yang tersedia untuk kegiatan bercocok-tanam dan menghasilkan pangan bagi keperluan konsumtif keluarga, sementara produk lainnya dijual untuk mendapatkan uang tunai. Corak usaha pertanian yang berskala kecil dan cenderung subsisten justru memerangkapkan petani untuk tidak memperluas skala produksi yang berorientasi pasar.

Mayoritas penduduk pedesaan yang karena tidak berkesempatan menempuh pendidikan formal dan terbatas akses mereka terhadap informasi dari luar sering dipersepsikan negatif oleh pihak luar yang mengklaim dirinya sebagai agen pembangunan pedesaan. Sebutan-sebutan seperti malas, bodoh dan tidak mampu sering dialamatkan kepada mereka. Lebih buruk lagi bahwa persepsi demikian telah menjadi asumsi publik, sehingga masyarakat desa sering menjadi objek intervensi pembangunan di pedesaan. Partisipasi mereka dalam ruang publik sering dibatasi baik dalam hal mengemukakan pendapat maupun pengambilan keputusan.

Dalam konteks pembangunan pertanian masyarakat pedesaan cenderung diperlakukan sebagai penerima inovasi-inovasi luar semata, ketimbang mendorong dan menciptakan ruang partisipasi bagi penumbuhan kreativitas petani untuk mengembangkan pengalaman praktis dan kearifan mereka mengelola sumberdaya alam, khusus dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Pendekatan pembangunan pertanian yang berorientasi proyek justru telah mengalienasikan petani dari semangat keswadayaan dan mematikan kreativitasnya dalam menghasilkan inovasi-inovasi pertanian sesuai konteks lokal mereka.

Pembangunan pertanian pedesaan hingga kini belum mampu membebaskan petani dari belenggu kemiskinan. Produk-produk pertanian yang menjadi sumber pendapatan tunai petani (seperti: coklat, kemiri, asam, mente dll) justru merupakan komoditi yang gampang dipermainkan para tengkulak dan pedagang antar pulau untuk mengambil untung lebih banyak dari petani produsen. Kecenderungan petani menjual secara individu dan buruknya infrastruktur di pedesaan menempatkan petani pada posisi tawar yang lemah ketika berhadapan dengan para pedagang perantara (middle man). Disalah satu pihak bahwa petani belum memiliki wadah bersama yang diharapkan perannya dalam memperkuat daya tawar petani.

Rantai perdagangan komoditi pertanian yang melibatkan kepentingan para pelaku bisnis (buyer) dan relatif panjang justru menyulitkan petani mendapatkan informasi harga komoditi pertanian yang terbaharui (up-dated) secara regular dari pusat-pusat perdagangan komoditi pertanian. Akibat ketidaktahuan tersebut petani tidak memiliki pendasaran kuat ketika menawarkan komoditi pertanian dan melakukan transaksi dengan para pedagang bermodal. Transaksi bisnis yang tidak berimbang (inequal) karena lemahnya posisi tawar petani mengakibatkan mereka menjadi pihak penerima harga, bukan sebagai penentu harga atas komoditinya.

Sadar atau tidak kita sadari bahwa petani sesungguhnya berada dalam situasi frustasi karena komoditi pertanian yang bernilai ekonomi bukannya memakmurkan mereka, tetapi justru sebaliknya dinikmati oleh pedagang dan pemilik modal. Karena itu tidak mengherankan kalau tanaman baru ataupun tanaman yang sudah lama dikenal petani, ketika dianjurkan untuk dikembangkan ataupun diremajakan lagi tidak mudah dilakukan petani. Hal demikian patut dipahami sebagai sikap resisten petani terhadap kondisi pasar komoditi pertanian yang tidak adil akibat dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan pasar yang tidak berpihak kepada petani.

Reaksi radikal petani terhadap situasi pasar yang tidak adil pernah dilakukan oleh para petani cengkeh di Sulawesi Utara dengan cara menebas habis tanaman cengkeh di perkebunan mereka. Reaksi tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap lembaga BPPC (Badan Penyanggah Pemasaran Cengkeh) di era orde baru yang tidak berpihak kepada petani cengkeh. Reaksi yang berbeda sering diperlihatkan oleh petani-petani di Nusa Tenggara dengan bertindak curang dalam berbagai bentuk (seperti: asam gelondongan direndam sesaat ke dalam air, biji kemiri kupas diberi uap air beberapa jam dll. sebelum ditimbang) meskipun akhirnya kembali menjadi bumerang karena merusak citra produk pertanian di pasar lokal dan nasional.

Khusus dalam konteks daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah yang memiliki karakter periode kering lebih lama (8-9 bulan) menyimpan produk-produk perkebunan dan kehutanan bernilai ekonomi tinggi. Daratan Timor telah lama dikenal sebagai penghasil kayu cendana; kopi dan coklat merupakan komoditi potensial untuk daratan Flores dan Sumba; serta Alor merupakan daerah penghasil komoditi kemiri dan pinang yang telah lama dikenal oleh para pedagang luar karena berkualitas tinggi.

Kemudian kita bertanya: Apakah kehidupan petani di NTT sudah lebih baik? Saya kira kita setuju dengan pernyataan bahwa petani di NTT masih tergolong kelompok masyarakat miskin. Mereka adalah produsen komoditi kehutanan dan perkebunan tetapi tidak memiliki posisi tawar setara ketika bertransaksi dengan pedagang. Akibatnya produk-produk langsung dari petani dibeli dengan harga paling rendah.

Petani NTT bersama dinas-dinas kemakmuran (meliputi: pertanian, perkebunan dan kehutanan) telah lama menggeluti sektor produksi. Akan tetapi kemana produk-produk yang merupakan keluaran (out-put) dari kegiatan produksi itu dipasarkan kurang mendapat perhatian. Petani dibiarkan mencari solusinya sendiri tanpa keterlibatan pihak lain untuk memfasilitasi petani mengakses pasar. Institusi formal seperti Disperindag yang berkompoten sebagai provider informasi pasar dan konsultasi bisnis; begitu pula Dinas koperasi/UKM diharapkan memperkuat kapasitas petani di bidang kewirausahaan dan pengembangan usaha ekonomi skala kecil, tetapi keduanya tidak terlihat keterlibatannya secara sinergis mendukung petani pedesaan mengakses pasar.

Ada beberapa permasalahan internal dan di luar kapasitas petani yang perlu dibenahi agar pembangunan pertanian di pedesaan berdampak positif bagi petani. Pertama: petani masih secara individu memasarkan komoditi pertanian kepada pembeli (buyer) karena tidak memiliki wadah bersama untuk mengakses pasar komoditi pertanian maupun melakukan kontak bisnis dengan pedagang; kedua: buruknya infrastruktur baik komunikasi dan transportasi di pedesaan menyebabkan kesulitan petani mengakses informasi dan teknologi relevan dari pusat-pusat provider; dan ketiga: lembaga-lembaga pendukung belum bekerja optimal dan terkoordinasi untuk meningkatkan kapasitas petani baik secara individu maupun kelembagaan petani dalam mengakses pasar.

Desentralisasi birokrasi melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur rumah tangga daerah dan kesejahteraan konstituen merupakan momen berharga untuk merancang-bangun format pendekatan pembangunan daerah yang pro petani serta masyarakat miskin. Pendekatan integrasi melalui pelibatan keselurahan sektor dan aktor pembangunan menanggapi kemiskinan masyarakat sebagai issue bersama adalah sebuah pilihan, karena itu kembali kepada kemauan baik (good willing) pemerintahan kabupaten/kota untuk membuka ruang partisipasi dari seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholders).

Petani lahan kering adalah representasi dari masyarakat NTT, karenanya mereka perlu mendapat perhatian dan dukungan berbagai sektor dan aktor pembangunan untuk memampukan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Petani secara individu perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam hal pengetahuan dan daya pikir kritisnya agar mampu membaca dan menanggapi berbagai trend dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Demikian juga institusi masyarakat (petani) perlu dibentuk dan diperkuat kapasitasnya agar mampu berperan dalam memperjuangkan kepentingan petani.

Sektor produksi bahan baku yang dominan dikelola oleh petani pedesaan adalah satu dari subsistem ekonomi yang vital bagi subsistem ekonomi lainnya (prosesing dan pasar) di perkotaan. Meningkatnya pertumbuhan penduduk kota plus urbanisasi penduduk desa ke kota membawa konsekwensi pada meningkatnya permintaan produk-produk konsumtif yang sumber bahan bakunya berasal dari pedesaan. Itu artinya bahwa ada peluang bagi produk-produk pertanian dari pedesaan untuk diakses pasar di perkotaan.

Bagaimana agar diakses pasar? Disini memerlukan dukungan dan fasilitasi dari pihak pemerintah ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) agar wakil-wakil petani dan pedagang dapat terhimpun dalam sebuah wadah bersama yang memudahkan mereka (petani dan pedagang) untuk berkomunikasi dan sharing secara regular menyangkut peluang pasar dari produk-produk pertanian yang ada di tingkat petani. Melalui wadah itu pihak pengusaha dapat menyampaikan informasi tentang jenis, karakter dan volume produk pertanian yang dibutuhkan pasar saat itu dan trend pasar produk pertanian di masa depan. Peran petani adalah menggunakan informasi tersebut untuk menyediakan produk sesuai volume dan standar yang dibutuhkan pasar, ataupun jika produk itu belum ada di tingkat petani maka informasi tersebut dipakai dalam kepentingan perencanaan produksi mendatang.

Lembaga-lembaga pendukung yakni Disperindag dan Koperasi/UKM diharapkan perannya untuk menumbuhkan dan mendorong minat masyarakat mengembangkan kelompok-kelompok usaha skala rumah tangga di bidang industri pengolahan makanan dan pemberian nilai tambah bagi produk-produk pertanian lainnya. Selain itu, peran lembaga-lembaga tersebut memfasilitasi kelompok-kelompok usaha masyarakat untuk mendapatkan perizinan usaha dan akses modal guna menunjang pertumbuhan dan perkembangan usaha industri berskala rumah tangga.

Berkembangnya industri pengolahan produk pertanian berskala rumah tangga di perkotaan, tentu akan mendorong meningkatnya permintaan bahan baku (gelondongan) yang disuplai dari pedesaan. Permintaan bahan baku oleh industri pengolahan makanan dan produk pertanian lainnya yang bertumbuh di perkotaan akan berimbas pada terpacunya kegiatan produksi bahan baku oleh petani produsen di pedesaan.

Peran badan pengkajian dan teknologi tepat guna menjadi strategis sebagai sumber sekaligus penyedia informasi dan teknologi relevan yang mudah diakses oleh masyarakat (petani) untuk meningkatkan efisiensi produksi, penanganan pasca panen dan prosesing produk-produk olahan. Oleh sebab itu diperlukan desiminasi teknologi-teknologi relevan dari lembaga-lembaga tersebut ke sentra-sentra produksi serta pendampingan kepada petani. Penggunaan teknologi relevan dalam kegiatan produksi memungkinkan minimalisasi biaya-biaya variabel untuk menghasilkan produk sesuai standar pasar sehingga baik petani produsen maupun processor memperoleh margin pemasukan relatif tinggi.

Model pendekatan pembangunan di bidang pertanian yang mengedepankan kemitraan petani dengan berbagai stakeholder seperti diuraikan di atas, niscaya petani di pedesaan akan merasa bermartabat karena diposisikan setara dengan aktor-aktor pembangunan lainnya. Petani tidak lagi teralienasi oleh pembangunan yang berlangsung di desanya, tetapi sebaliknya mereka adalah pelopor pembangunan di desanya sendiri. Mari kita membangun bangsa tercinta dimulai dari desa!!